Stikosa AWS Menggelar Seminar Nasional Politik, Buat Gen Z dan Millenial Untuk Tumbuhkan Pemahaman Kuatkan Pilihan di Pemilu 2024
Mahasiswa Stikosa AWS (Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya) menyelenggarakan Seminar Nasional Politik (Sempol) dan Penyiaran Media, berlangsung secara hybrid, dengan tema Kontribusi Media Penyiaran Dalam Meningkatkan Pemahaman Para Pemilih Muda. Pelaksanaan Seminar nasional untuk secara luring berlangsung di Ruang Multi Media kampus Stikosa AWS pada Sabtu (13/1/2024).
Seminar Nasional ini menghadirkan tiga narasumber pembicara, yakni Machmud Suhermono, Wakil Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Prov. Jawa Timur, Immanuel Yosua Tjiptosoewarno Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur, dan Yasin Al Raviri Pewarta Jawa Pos (Jawa Pos TV), yang juga alumni Stikosa AWS.
Seminar Nasional Pemilu 2024 untuk umum ini secara luring pula di Ruang Multi Media dihadiri oleh Wakil Ketua 2 Stikosa AWS Bidang Operasional Dwi Prasetyo, Kepala Prodi M. Arkansyah, Kepala DMPR (Digital Marketing dan Public Relations) Kiky Wulandari, dan Kepala BAA Riesta Oktarina, serta para mahasiswa semester 5 Stikosa – AWS yang tengah menempuh mata kuliah Ilmu Politik, dan puluhan mahasiswa dari perguruan tinggi lainnya di beberapa daerah di Jawa Timur.
Di kesempatan perdana, narasumber pemateri Machmud memaparkan, bahwa kondisi ini media massa atau media Pers saat ini tidak dalam baik-baik saja. Karena jumlah pembaca, jumlah pendengar dan pemirsa media Pers makin hari makin turun. Sedangkan disrupsi media semakin hari semakin tinggi, apalagi di suasana Pemilu 2024. Belum lagi tidak sedikit yang menyangkut persoalan independensi pemberitaan serta persoalan upload atau unggah, share dan re share konten Pemilu 2024 di media sosial, yang juga digunakan sarana penyebaran berita media Pers, disamping penyebaran informasi kategori non berita.
“Kawan-kawan yang di generasi Z dan generasi Millenial kebanyakan bukan pembaca media Pers. Karena Gen Z dan Millenial ini sudah tertanam stereotipe-nya bahwa informasi dan berita itu gratis. Beda di era kami di gen X ataupun generasi sebelum kami untuk mendapatkan informasi dari pemberitaan itu berbayar. Ya karena proses produksi media Pers itu panjang dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi ada dalam proses penyebaran informasinya penuh dengan kehati-hatian, karena ada regulasi dan undang-undangnya yang mengatur media Pers,” terang Machmud, yang juga dosen jurnalistik Stikosa AWS ini.
Machmud yang juga sebagai anggota Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) Kota Surabaya di Pilpres dan Pileg 2024 lebih jauh menjabarkan, ketika media sosial saat ini menghegemoni, yang juga menjadi ajang pertarungan politik yang sangat kuat dan besar pengaruhnya. Kecintaan terhadap salah satu capres misalnya, membuat polarisasi terhadap masyarakat, yang kemudian berdampak pada mengekspresikan kecintaannya itu dijadikan konten-konten di media sosial. Dimana unsur kehati-hatiannya masih minim, terutama dalam pemahaman UU ITE yang beberapa kali mengalami revisi.
“Karena kecintaan masyarakat pemilih itu, sebaiknya hati-hati dalam mengunggah atau nge-share konten yang dapat terjerat pasal-pasal UU ITE yang sudah sekian kalinya di revisi,” imbuhnya.
Selain itu, kata Machmud, di suasana Pemilu 2024 ini, masyarakat sudah terbentuk dengan sendirinya dalam kelompok-kelompok politik di berbagai aplikasi media sosial. Karena potensi dan kerentanan masyarakat dapat mengolah dan memproduksi sendiri konten untuk kepentingan kelompok politiknya, sekalipun materinya ada yang bersumber dari media Pers Secara terpotong dan tidak secara utuh.
Dalam hal ini diharapkan masyarakat, terutama pada gen Z dan Millenial dari data KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang mempunyai prosentase hampir 60 persen sebagai pemilih di Pemilu 2024 ini, untuk lebih berhati-hati dalam menerima informasi, menggunggah materi konten ataupun share konten di media sosial yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran faktual informasinya.
“Karena informasi atau berita produk media Pers yang malah kebanyakan tersebar luas di media sosial, sudah dalam bentuk terpotong-potong tidak utuh yang dapat rentan menimbulkan berbagai persoalan, digunakan untuk kelompok masyarakat pemilihnya. Belum lagi pengusaha media Pers yang juga terlibat bergabung dalam partai politik dan tim kampanye salah satu paslon capres tertentu, yang makin sulit medianya untuk bersikap independen di pemberitaannya,” ungkapnya.
Namun demikian, Machmud berharap setidaknya masyarakat terutama gen Z dan Millenial, dapat mengetahui dan memahami seperti apa perbedaan produk informasi dan berita media Pers penyebarannya di media sosial, dengan produk yang bukan media Pers.
“Setidaknya ada tiga ciri yang wajib diketahui bahwa apakah kontennya apakah produk media Pers atau bukan. Yaitu sebaiknya ditelusuri dahulu produk kontennya kalau media Pers itu punya nama badan usaha yang jelas terdaftarkan, punya susunan penanggungjawab redaksi yang jelas, dan punya alamat media yang jelas pula,” ujar Machmud.
“Karena media Pers punya kewajiban dan tugas media Pers itu memberikan pendidikan politik, mencegah orang2 yang anti demokrasi muncul di pemberitaan, untuk mengantisipasi kerawanan2 dan akan menjadikan pemilih rasional di Pemilu 2024, media Pers dilarang menjadi sumber kegaduhan dan sumber permasalahan serta sumber perpecahan, dituntut netral dan balance dalam pemberitaan,” pungkas Mahmud.
Hal senada juga disampaikan narasumber pemateri Ketua KPID Jatim Immanuel Yosua di Seminar nasional politik dan penyiaran media Stikosa AWS.
Dalam materinya Kontribusi Media Penyiaran Dalam Meningkatkan Pemahaman Pemilih Muda, Yosua mengatakan setidaknya pemilih muda perlu mengetahui tentang proses produksi penyiaran itu memerlukan investasi besar. Hal tersebut memang kondisi yang ada dan sekarang media penyiaran bermetamorfosis ke dalam media digital, dengan segala konsekuensi dan risikonya. Media penyiaran kecenderungannya untuk berhati-hati dalam menayangkan berita-berita penyiarannya tentang Pilpres di Pemilu 2024 ini, dengan menaati rambu-rambu regulasi dan perundang-undangan yang mengaturnya.
“Karena media proses produksi penyiaran cukup panjang dan membutuhkan biaya yang besar. Investasi besar itulah membuat media penyiaran untuk lebih berhati-hati dalam memproduksi konten beritanya,” ujar Yosua.
Ia memaparkan, kontribusi pemilih muda di Pemilu 2024 ini data secara nasional dari KPU menyebutkan, dari jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) Pemilu 2024 dari 204.807.222 pemilih, penuh yang berusia 17 tahun sampai 40 tahun sebanyak 51,93 persen atau berjumlah 106.358.447 kategori pemilih muda.
Sedangkan data pemilih muda di Jawa Timur, dari 31.402.838 pemilih secara keseluruhannya, terdapat 10.001.790, atau mencapai 31,8 persen pemilih kategori usia muda.
Hal tersebut nantinya menurut Yosua, pemilih muda yang nantinya akan menentukan arah politik secara nasional dan mewarnai kontestasi politik yang cukup tinggi di Jawa Timur.
Meski terjadinya metamorfosa media penyiaran ke dalam media digital, Yosua mengkategorikan kecenderungan anak muda saat ini lebih sedikit menonton media penyiaran digital telestrial katimbang melalui media konvergensi digital.
“Sekarang di ruangan multi media ini ada berapa yang nonton siaran tv? Yang nonton siaran radio?. Karena media penyiaran mengalami metamorfosis inilah jawaban kenyataannya sekarang anak muda lebih banyak melihat di aplikasi media sosial,” ujar Yosua.
Untuk lebih meningkatkan kembali media penyiaran memperoleh perhatian oleh generasi muda, Ketua KPID Jatim ini mengapresiasi perusahaan media penyiaran yang telah membenahi banyak hal untuk mendekatkan diri dengan generasi muda. Mulai dari pembenahan studio penyiarannya yang bernuansa selera anak muda hingga produk-produk penyiarannya.
“Kalau kalian mengunjungi media penyiaran, ada beberapa media penyiarannya mulai merubah desain dan suasana studionya supaya menarik perhatian generasi muda untuk disukai. Begitu pula terkait konten Pemilu, media penyiaran televisi memiliki waktu yang cukup efektif untuk mensosialisasikan tentang Pemilu dan pelanggarannya,” ungkap Yosua.
Yosua mengingatkan, kewajiban media penyiaran untuk menjaga idealisme jurnalistik yang tidak dapat di framing untuk kepentingan kelompok, karena media penyiaran itu untuk kepentingan semua masyarakat banyak, di Pemilu ini media penyiaran semestinya tidak dibiayai kontestan politik, tunduk pada aturan Pemilu dan berpedoman pada nilai informatif, edukatif dan menerapkan nilai kebangsaan.
Terkait dengan produksi konten informasi dan berita seputar Pemilu 2023, Yasin Al Raviri membenarkan bahwa proses produksi media broadcasting tv mempunya proses yang cukup panjang dan memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Yasin Pewarta Jawa Pos ini mengatakan, apa yang harus dilakukan media Pers terkait dengan kegiatan Politik di Pemilu 2024, tetap berpegangan dengan Kode etik dan perundangan yang mengaturnya.
Pihaknya yang saat ini sebagai jurnalis tv, setiap memproduksi pemberitaan kegiatan politik Pemilu, selalu mengedepankan keseimbangan sumber berita, karena media pers bertanggungjawab pada seluruh masyarakat dalam memberikan informasi dan edukasi yang berimbang.
“kami membuat tayangan berita-berita tentang pemilu, ada keseimbangan materi sumber berita dan narasumber dari banyak pihak dan bukan hanya dari satu pihak. Supaya masyarakat mengetahui persoalannya yang sebenarnya seperti apa untuk dinilainya oleh masing-masing pemirsa,” ujar pewarta tv yang juga alumni Stikosa AWS ini.
Yasin menyoroti perubahan perilaku pemirsa muda yang beralih dari menonton media penyiaran tradisional ke media sosial.
Menurutnya, media penyiaran harus berinovasi dalam menyajikan konten yang menarik untuk mendekati generasi muda.
Yasin mengingatkan akan pentingnya keseimbangan dalam pemberitaan, terutama menjelang Pemilu 2024, dan menekankan perlunya media pers mematuhi kode etik dan regulasi yang berlaku.
Seminar ini menjadi wadah bagi peserta, terutama generasi Z dan millenial, untuk memahami peran media dalam konteks politik menjelang Pemilu 2024 dan mendorong pemahaman yang lebih baik terkait sumber informasi yang dikonsumsi di era digital saat ini. **